Luwu, Gerbongnews.co.id- Di balik kilauan emas yang dijanjikan oleh tambang PT Masmindo Dwi Area, telah tersembunyi wajah muram dari pembangunan yang timpang.
Di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, proyek tambang yang diklaim akan membawa “kemajuan” justru memicu perlawanan kolektif dari masyarakat yang mempertanyakan, bahkan menolak, narasi besar pemerintah tentang pertumbuhan ekonomi.
Penolakan ini tidak lahir dari ketidaktahuan atau fobia terhadap modernisasi, tetapi dari kesadaran kritis bahwa model pembangunan yang dipaksakan tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan, ruang hidup rakyat, dan prinsip keadilan ekologis akan membawa kehancuran yang tak terbayar oleh royalti mana pun.
Secara ekologis, wilayah Luwu memiliki bentang alam yang sensitif dan sistem ekologis yang kompleks.
Kehadiran tambang emas terbuka di kawasan seperti ini menghadirkan ancaman langsung terhadap ekosistem lokal.
Tambang emas, apalagi dalam skala industri, memerlukan pengupasan lapisan tanah dalam jumlah besar, penggunaan air dalam volume masif, serta bahan kimia beracun seperti sianida dan merkuri dalam proses ekstraksi.
Dampak jangka panjangnya bukan hanya pada tanah dan air, tetapi juga pada pola hidup masyarakat yang menggantungkan kehidupannya dari pertanian dan sumber air bersih.
Ketika air tercemar dan tanah rusak, maka ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat pun ikut terancam.
Dampak ekologis ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia hadir di tengah masyarakat adat dan masyarakat lokal yang telah membangun hubungan historis dan kultural dengan tanah mereka.
Penolakan masyarakat terhadap tambang Masmindo adalah bentuk pembelaan terhadap hak hidup, bukan sekadar reaksi emosional. Ini adalah refleksi dari ecological citizenship yang memahami bahwa bumi bukan hanya sumber ekonomi, melainkan rumah kehidupan yang tak boleh dijadikan objek eksploitasi semata.
Ketika mengabaikan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam setiap pengambilan keputusan, maka yang terjadi bukan pembangunan, melainkan perampasan.
Sayangnya, pemerintah justru tampil sebagai aktor utama dalam memperkuat dominasi korporasi. Melalui regulasi yang bias kepentingan modal, pemerintah telah mengesampingkan fungsi dasarnya sebagai pelindung rakyat dan lingkungan.
Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sering kali sekadar formalitas administratif yang tidak merefleksikan fakta lapangan.
Alih-alih berperan sebagai kontrol etis dan ekologis, AMDAL justru menjadi instrumen legalisasi kehancuran yang dirancang sedemikian rupa agar proyek berjalan lancar. Di titik inilah kita melihat bentuk kekerasan structural, dimana pemerintah yang seharusnya melindungi justru menjadi bagian dari masalah.
Kritik tajam terhadap pemerintah ini disampaikan oleh Gasali Syarif Wasekjen Bidang Lingkungan Hidup Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu (PP IPMIL).
Dalam pernyataannya, Gasali menyatakan bahwa tambang Masmindo bukan solusi, tetapi awal dari krisis baru. “Kami menyaksikan bagaimana pemerintah berpihak pada modal dan meninggalkan rakyatnya.
Tambang Masmindo tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga memecah masyarakat, mematikan pertanian, dan memperkuat ketimpangan. Kami menolak bukan karena anti pembangunan, tapi karena kami ingin pembangunan yang adil, ekologis, dan partisipatif,” tegasnya.
Pernyataan ini memperlihatkan posisi mahasiswa sebagai bagian dari gerakan rakyat yang kritis, bukan hanya dari aspek moral, tapi juga dari basis pengetahuan dan keberpihakan.
Kondisi ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam memahami esensi pembangunan.
Di satu sisi, pemerintah terus memproduksi narasi pertumbuhan ekonomi sebagai pembenaran atas proyek ekstraktif.
Di sisi lain, pemerintah menyingkirkan prinsip partisipasi, keberlanjutan, dan hak hidup masyarakat.
Ini bukan sekadar konflik antara masyarakat dan perusahaan, melainkan krisis legitimasi pemerintah dalam tata kelola sumber daya alam.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan yang seharusnya menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, tambang Masmindo gagal memenuhi seluruh unsur tersebut.
Secara ekonomi, keuntungan hanya dinikmati segelintir elit politik dan pemodal.
Secara sosial, proyek ini memecah belah masyarakat, memunculkan ketegangan antarwarga, dan memperlemah kedaulatan lokal.
Secara ekologis, kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada kompensasi yang dijanjikan.
Maka, penolakan terhadap tambang Masmindo bukanlah akhir dari perjuangan, tetapi awal dari perlawanan yang lebih besar terhadap model pembangunan yang eksploitatif dan destruktif.
Pemerintah harus segera mengevaluasi, bahkan mencabut izin operasi tambang tersebut. Sebuah audit independen, partisipatif, dan transparan harus dilakukan untuk menilai keseluruhan proses dari hulu ke hilir.
Di saat yang sama, pemerintah harus membuka ruang dialog yang jujur dengan masyarakat Luwu dan menghentikan pendekatan represif terhadap suara-suara penolak tambang.
Tulisan: Gasali Syarif, Wasekjen PP IPMIL Luwu