Saat Kampus Tak Lagi Menjadi Rumah Gagasan, Maka Kampus Kehilangan Wataknya Sebagai Inspiratif Dan Inovatif

oleh -456 Dilihat
oleh

Luwu, Gerbongnews.co.id – Premanisme yang terjadi di lingkungan kampus bukan sekadar persoalan disipliner atau insiden semata. Ia adalah cermin retaknya nalar sehat di tempat yang seharusnya menjadi benteng rasionalitas dan ruang aman berpikir.

Ketika Premanisme dibiarkan, apalagi oleh institusi yang mestinya menjadi penjaga nilai-nilai intelektual, maka kampus kehilangan wataknya sebagai rumah gagasan dan berubah menjadi arena pertarungan arogansi, simbolisme kosong, dan premanisme primitif.

Kita menyaksikan dengan getir bagaimana kelompok-kelompok tertentu dengan bebas mempertontonkan dominasi dan kekuasaan melalui kekerasan fisik maupun simbolik.

Spanduk ‘perang’ dikibarkan, sementara ruang-ruang dialog dan debat yang seharusnya menjadi denyut nadi kehidupan akademik justru dikebiri dan diintimidasi.

Ironisnya, semua itu terjadi di bawah bayang-bayang pembiaran. Diamnya kampus, lemahnya penegakan hukum, dan normalisasi tindakan represif, perlahan-lahan membunuh keberanian untuk berpikir merdeka.

Jika kita memilih diam hari ini, maka esok akan lebih banyak mahasiswa yang menjadi korban. Esok akan lebih banyak konflik yang disulut bukan oleh pertarungan gagasan, tapi oleh nafsu kekuasaan yang dibalut jargon ideologis.

Kita akan menyaksikan kampus bukan lagi sebagai tempat belajar dan berdiskusi, melainkan medan konflik yang dikuasai oleh logika kekerasan.

Kekerasan di ruang akademik bukanlah keniscayaan. Ia adalah hasil dari kelalaian, pembiaran, dan kegagalan kita menjaga nilai-nilai intelektual. Maka dari itu, sudah saatnya semua elemen kampus, pimpinan, dosen, mahasiswa, hingga alumni bersatu melawan praktik kekerasan dalam bentuk apa pun.

Kita perlu mengembalikan kampus sebagai rumah gagasan, tempat perbedaan dipertemukan dalam debat yang sehat, bukan dihakimi dengan tinju dan intimidasi.

Melawan pembiaran hari ini adalah upaya menyelamatkan masa depan intelektual bangsa. Karena jika kampus gagal menjadi tempat yang aman untuk berpikir, maka kita tengah mencetak generasi yang tak lagi percaya pada nalar, tapi tunduk pada kuasa