Rifki Kribo Ketua Ikmal Luwu: Mengecam Tindakan Premanisme, Minta APH Tindak Tegas Pelaku Agar Komplik Tidak Berkepanjangan
Rifki Kribo Ketua Ikmal: Gerombolan Abang Jago di tengah Diamnya Aparat
Sekelompok orang tidak dikenal (OTK), membawa senjata tajam, menerobos pagar-pagar kampus di Makassar.
Mereka berteriak-teriak, mengobarkan perang, mencari “Anak Palopo” hanya karena identitas daerah.
Dalam sekejap, tempat yang mestinya menjadi ruang belajar berubah menjadi arena kekerasan.
Tetanggaku bilang, kekerasan adalah bentuk tertua dari kebodohan.
Ia hadir ketika otakmu gagal. Lanjut ia menegaskan, Tapi kekerasan yang dibiarkan adalah bentuk kegagalan negara.
Ia bukan lagi sekadar tindakan individu, tapi cerminan diamnya aparat dan runtuhnya penegakkan hukum.
Apa makna penegak hukum jika teror bisa masuk ke jantung kampus tanpa perlawanan…??,
Apa makna negara jika aparat memilih bungkam ketika mahasiswa diintimidasi di ruang belajarnya sendiri..??,
Bukankah aman dan tertib adalah janji paling dasar dari negara ini pada setiap individu.
Kita sedang mengalami kelumpuhan moral. Bukan hanya karena pelaku kekerasan berjalan bebas, tetapi karena diamnya mereka yang punya kuasa untuk menghentikannya.
Perlu dicatat, mahasiswa Palopo, mereka yang tergabung dalam IPMIL, bukanlah generasi lemah. Mereka bisa saja membalas.
Mereka bisa saja memilih jalan yang sama: melawan dengan kekerasan, menanggapi teriakan dengan teriakan, bahkan menjawab parang dengan parang.
Tapi hari ini, mereka memilih tidak. Bukan karena takut.
Bukan karena kalah. Melainkan karena akal sehat masih mereka genggam.
Mereka paham bahwa membalas kebiadaban dengan kebiadaban hanya akan mengubur lebih dalam cita-cita pendidikan.
Mereka tahu bahwa kekerasan yang dipelihara akan menjadi warisan pahit bagi generasi berikutnya. Tapi kesabaran juga punya batas. Dan pihak keamanan seharusnya tidak bermain-main dengan waktu.
Karena jika hukum terus tertidur, dan jika teror terus dibiarkan berkeliaran di ruang akademik, maka yang akan bangkit bukan hanya perlawanan, tapi amarah kolektif dari sebuah edintitas.
Kami dengan senang hati menyatakan bersedia menghalalkan darah di kota Daeng ini (Makassar).
Dan jika negara tak segera hadir, sejarah akan mencatat: kampus-kampus di negeri ini pernah diserbu oleh kekerasan – dan hukum, kala itu, memilih bersembunyi.