LUWU — Proses rekrutmen tenaga kerja PT Bumi Mineral Sulawesi (BMS), perusahaan pengolahan nikel (smelter) di Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, yang rampung pada pertengahan 2025 kini menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Alih-alih menjadi kesempatan kerja yang menjanjikan bagi warga lokal, hasil seleksi justru memunculkan kekecewaan dan penilaian bahwa perusahaan belum sepenuhnya menepati janji pemberdayaan masyarakat sekitar.
Sejak diumumkannya pembukaan sekitar 500 formasi kerja pada pertengahan tahun, masyarakat Luwu sempat menaruh harapan besar.
Perekrutan itu diharapkan menjadi momentum bagi perusahaan untuk membuktikan komitmen sosialnya di daerah tempat beroperasi.
Namun, setelah proses seleksi selesai, sebagian besar pelamar lokal mengaku kecewa. Mereka menilai kesempatan kerja lebih banyak diberikan kepada tenaga kerja dari luar daerah.
“Janji untuk memprioritaskan tenaga kerja lokal ternyata hanya berhenti di tataran wacana. Masyarakat sekitar hanya menjadi penonton di tanah sendiri,” ujar salah satu warga yang mengikuti seleksi namun gagal lolos.
Ia menilai proses rekrutmen kurang transparan, karena belum ada publikasi hasil resmi maupun kriteria penilaian yang jelas.
Kritik serupa datang dari PP IPMIL (Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu), organisasi mahasiswa asal Luwu yang selama ini aktif mengawal isu sosial dan pembangunan daerah.
Dalam keterangan resminya, PP IPMIL menilai proses rekrutmen PT BMS belum transparan dan mencederai rasa keadilan masyarakat.
“Kami menilai PT BMS belum menunjukkan itikad baik dalam menjalankan komitmen pemberdayaan lokal. Rekrutmen yang dilakukan tanpa keterbukaan hanya memperlebar jarak sosial antara perusahaan dan masyarakat,” ujar perwakilan PP IPMIL dalam pernyataan tertulisnya.
Misbahul Khair, Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah IPMIL Luwu, menegaskan bahwa peran organisasi mahasiswa bukan hanya mengkritisi, tetapi juga mengawal jalannya pembangunan agar tetap berorientasi pada kepentingan rakyat.
Menurutnya, kehadiran industri besar seperti PT BMS seharusnya menjadi momentum bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Luwu, bukan justru menciptakan kesenjangan baru antara investor dan warga lokal.
“Kami tidak ingin melihat masyarakat Luwu hanya menjadi penonton di tengah gemuruh pembangunan di tanahnya sendiri,” tegasnya.
Misbahul Khair juga menambahkan, apabila dalam proses rekrutmen terdapat hal-hal yang mencederai rasa keadilan publik, maka hal itu perlu segera dievaluasi oleh pihak terkait.
Ia menegaskan, jika praktik semacam ini terus berlanjut tanpa perbaikan, maka akan menimbulkan ketegangan sosial dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan maupun pemerintah yang membiarkannya.
Sebagai masyarakat Luwu, IPMIL tidak menolak kehadiran investasi dan kemajuan industri.
Justru kehadiran industri diharapkan dapat membuka lapangan kerja, meningkatkan ekonomi daerah, dan mengangkat harkat masyarakat Luwu. Namun, pembangunan tidak boleh berjalan dengan mengorbankan rakyatnya sendiri.
PP IPMIL menegaskan bahwa keterlibatan masyarakat lokal bukan sekadar bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan, tetapi merupakan kewajiban moral dan konstitusional bagi setiap pelaku industri yang beroperasi di daerah.
Organisasi ini juga menyerukan agar PT BMS segera mempublikasikan data hasil rekrutmen secara terbuka — mulai dari nama peserta yang diterima, asal daerah, hingga kualifikasi yang digunakan dalam penilaian.
Sorotan terhadap PT BMS mencerminkan paradoks antara narasi pembangunan dan kenyataan di lapangan.
Selama ini, investasi industri di Luwu diklaim membawa dampak ekonomi dan sosial yang signifikan.
Namun di sisi lain, warga sekitar masih menghadapi kesenjangan dalam akses terhadap lapangan kerja dan kesejahteraan.
Dalam konteks ini, desakan PP IPMIL bukan sekadar kritik, melainkan panggilan moral untuk memperbaiki hubungan sosial antara perusahaan dan masyarakat.
Transparansi, keadilan, dan keberpihakan terhadap warga lokal harus menjadi fondasi utama bagi keberlanjutan investasi yang berkeadilan.
Kehadiran PT BMS di Luwu seharusnya tidak hanya menjadi simbol kemajuan industri, tetapi juga sarana pemerataan kesejahteraan.
Jika komitmen terhadap masyarakat lokal terus diabaikan, maka proyek pembangunan akan kehilangan makna sosialnya.
Semoga suara ini menjadi pengingat bahwa kemajuan industri sejati bukan diukur dari banyaknya bangunan dan mesin yang berdiri, melainkan dari seberapa banyak manusia di sekitarnya yang turut sejahtera.






