Haikal Ketua Bidang Pendidikan: IPMIL Bukan Organisasi Jalanan Mengandalkan Otot, Jauhkan Kami Dari Diskriminatif, Tapi Kami Punya Pendidikan Berdedikasi

oleh -135 Dilihat
oleh

Makassar, Gerbongnews. Co. Id – Pers Rilis: Dalam dinamika kehidupan kemahasiswaan di Kota Makassar, organisasi kedaerahan memainkan peran penting sebagai ruang pembinaan karakter, penguatan intelektual, serta penjaga identitas kultural.

Salah satu organisasi yang menempati posisi strategis dalam peran ini adalah Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu (IPMIL).

Namun belakangan, muncul narasi sepihak yang menyudutkan IPMIL sebagai biang kerusuhan, narasi yang tidak hanya tendensius, tetapi juga mencerminkan upaya sistematis membungkam suara-suara kritis yang lahir dari rahim keilmuan mahasiswa daerah.

Sebagai organisasi yang telah berdiri puluhan tahun, IPMIL bukanlah entitas yang dibentuk untuk menciptakan kegaduhan.

Ia tumbuh dari semangat anak-anak Luwu yang merantau, membawa identitas dan cita-cita untuk menuntut ilmu demi pengabdian tulus kepada tanah kelahiran.

Dalam perjalanannya, IPMIL menjadikan nilai-nilai pendidikan, kebudayaan, dan keadaban sebagai tiang utama perjuangan.

Berbagai agenda diskusi, seminar, kaderisasi, hingga advokasi sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut organisasinya. Maka, menyapu bersih seluruh rekam jejak pengabdian ini hanya dengan tuduhan sempit, adalah kekeliruan historis dan kegagalan moral.

Narasi bahwa IPMIL adalah sumber kekacauan bukan hanya salah secara substansi, tetapi juga berbahaya jika terus dibiarkan tanpa klarifikasi.

Dalam sejumlah konflik yang terjadi, IPMIL justru kerap berada pada posisi terdampak, menjadi korban intimidasi dan tindakan represif yang tidak proporsional.

Namun, saat organisasi ini memilih untuk bersuara, mempertahankan diri, atau menyatakan sikap atas ketidakadilan yang dialami, respons itu justru dipelintir sebagai bentuk provokasi.

Padahal, dalam negara yang menjunjung tinggi hak sipil dan kebebasan berpendapat, tindakan tersebut adalah bentuk ekspresi sah dari kesadaran kolektif yang terdidik.

Haikal, Ketua Bidang Pendidikan Pengurus Pusat IPMIL, menegaskan: “IPMIL bukan organisasi jalanan yang mengandalkan otot.

Kami dididik untuk berpikir, bertindak, dan berbicara dalam kerangka keadaban. Jika ada konflik, mari telusuri siapa pemicu awalnya secara jujur, bukan serta-merta menyematkan tuduhan kepada mereka yang membela diri.”

Lebih dari itu, tindakan represif yang baru-baru ini terjadi telah melampaui batas-batas hukum dan keadilan.

Salah satunya adalah penggerebekan dan penangkapan yang dilakukan secara sepihak di Asrama PB IPMIL di Kota Makassar.

Sejumlah kader ditangkap tanpa surat perintah yang jelas, tanpa status hukum yang tegas, dan tanpa adanya proses hukum yang transparan.

Asrama yang selama ini menjadi ruang belajar, diskusi, dan pembinaan kader, justru diserbu secara tidak proporsional, sehingga menciptakan suasana teror dan trauma psikologis yang mendalam bagi penghuninya.

Tindakan tersebut bukan hanya mencederai rasa aman mahasiswa, tetapi juga mencerminkan pendekatan aparat yang abai terhadap prinsip-prinsip negara hukum.

Penangkapan tanpa dasar hukum yang jelas adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi dan kemerdekaan sipil.

Apalagi ketika penegakan hukum hanya menyasar satu kelompok mahasiswa tertentu, sementara pemicu utama dan pihak lain yang terlibat tidak disentuh sama sekali.

Ketimpangan ini menunjukkan bahwa IPMIL bukan sedang mencari masalah, melainkan sedang menghadapi ketidakadilan yang dilegalkan.

Dalam upaya meredam ketegangan yang terjadi, para kepala daerah dari Luwu Raya telah menunjukkan kepemimpinan yang bijak dengan mengadakan pertemuan resmi Wali Kota Makassar.

Pertemuan ini merupakan langkah nyata dalam membangun dialog lintas wilayah, bukan sekadar untuk meredakan konflik, tetapi juga untuk menegaskan komitmen bersama dalam menjaga keselamatan dan martabat mahasiswa yang berasal dari Luwu Raya.

Langkah tersebut mencerminkan kesadaran bahwa persoalan ini tidak dapat disederhanakan sebagai insiden biasa.

Namun, perdamaian sejati tidak cukup dibangun hanya di atas meja pertemuan para pemimpin. Mahasiswa sebagai pihak yang paling terdampak justru harus dilibatkan secara langsung dalam proses penyelesaian. Dialog dengan mahasiswa bukanlah pelengkap simbolik, melainkan prasyarat moral dalam upaya menciptakan solusi yang adil dan berkelanjutan. Menyelesaikan konflik tanpa melibatkan mereka yang mengalami langsung ketegangan sosial adalah bentuk pengabaian terhadap realitas.